Dr Rasyidah MAg, Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh
PENTINGKAH politisi perempuan? Jawabnya adalah sangat penting. Karena ruang pembangunan politik harus adil dan mampu menjembatani aspirasi dan kepentingan semua kelompok termasuk perempuan. Ada beberapa alasan utama mengapa hal ini dianggap krusial. Pertama, Undang-Undang Indonesia mengamanatkan kesetaraan bagi seluruh warga negara, tanpa terkecuali bagi perempuan. Kedua, Indonesia adalah salah satu negara yang mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) dengan salah satu tujuannya adalah kesetaraan gender.Prinsip SDGs “No One Left Behind” menekankan pentingnya melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk perempuan, dalam pelaksanaannya.
Mengenai keterwakilan perempuan dalam lembaga eksekutif dan legislatif, Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan keterwakilan perempuan sebanyak minimal 30 persen.
Untuk konteks Aceh, berbagai regulasi ini tidak serta merta mampu memudahkan jalan politik para politisi perempuan. Sebab ada resistensi budaya yang diperkuat dengan interpretasi Islam oleh beberapa kelompok yang menolak peran politik perempuan sebagai pemimpin. Sehingga peran politik perempuan di Aceh cenderung baru kembali mulai di awal abad 21 setelah sejarah besar ratu-ratu Aceh di abad ke-17 M. Pada indikator pembangunan nasional, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Aceh masih tertinggal dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen.
Pada tiga periode pemilihan, untuk level DPRA keterwakilan perempuan mengalami penurunan. Dari 12 orang perempuan di Pemilu 2014 (14,78 % ) menjadi 9 orang pada Pemilu 2019 (11,08 % ) menjadi 7 orang pada Pemilu 2024 (8,6 % ). Kondisi ini pada prinsipnya terjadi juga di level kabupaten. Minimnya jumlah persentase perempuan yang ada di politik, khususnya di legislatif disebabkan oleh banyak faktor, seperti pemahaman agama, budaya, minimnya pengetahuan politik, dan terbatasnya dukungan dari keluarga.
Waktu telah menjadi bukti bagaimana ikhtiar politik perempuan Aceh menjadi energi politik yang dinamis. Isu hak politik perempuan menguat seiring menguatnya posisi tawar dan kemampuan politisi perempuan menegosiasikan berbagai kepentingannya di partai dan di masyarakat. Pengalaman Pemilu tahun 2014 dan 2019, partai yang paling banyak mengantarkan aleg perempuannya seluruh Aceh adalah partai yang lebih terbuka memberikan nomor urut kecil pada caleg perempuannya. Karena hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata caleg perempuan terpilih di Pemilu 2014 dan 2019 adalah caleg dengan urut 1-3.
Pada Pemilu 2014 ada 69 caleg perempuan di Aceh, 71 % nya adalah caleg dengan nomor urut 1-3. Tahun 2019 caleg perempuan terpilih adalah 84 orang, 81 % nya adalah caleg dengan nomor urut 1-3. Dan partai partai yang paling banyak menempatkan caleg perempuan di nomor urut 1-3 Golkar, PA, Demokrat, Gerindra dan PKS. Darah endatu perempuan Aceh yang kental dengan karakter kepemimpinan perempuan yang patriotis kembali menguat dalam jejak-jejak politik reformatif.
Namun tahun 2025 menjadi sedikit berbeda. Di tengah kerasnya perjuangan politisi perempuan di Aceh, dan cerita sukses dari politisi perempuan yang berhasil lolos dengan kegigihannya, terdapat juga “kereta kencana politik” yang mengantarkan salah satu politisi perempuan untuk DPRA. Beberapa harian mengabarkan perihal keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh yang menetapkan Salmawati, akrab disapa Bunda Salma, istri Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem) sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh menggantikan Ismail A. Jalil alias Ayahwa dari Dapil Aceh 5 yang sudah terpilih sebagai Bupati Aceh Utara. Penetapan ini dilakukan dalam Rapat Pleno KIP Aceh pada Senin, 14 April 2025, sebagaimana yang telah diberitakan banyak media.
Pergantian ini lazim adanya dengan merujuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 426 Ayat 1 Huruf c, serta PKPU Nomor 6 Tahun 2024 Pasal 48 Ayat 5, yang mengatur mekanisme penggantian calon terpilih berdasarkan suara terbanyak berikutnya. Hanya saja fakta di internal Partai Aceh sendiri yang menjadi tidak lazim manakala Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Aceh memberhentikan tiga kader potensialnya pada 5 Maret 2025 lalu. Ketiga kader tersebut adalah Muhammad Thaib alias Cek Mad, Anwar Sanusi dan juga Ermiadi. Pemberhentian ketiga kader PA tersebut diketahui berdasarkan surat keputusan yang ditandatangani Ketua Umum DPP PA, Muzakir Manaf dan Sekjen Zulfadhli A, Md. Pemberhentian ini serta merta memberi jalan tol bagi Salmawati untuk ditetapkan sebagai anggota DPRA mewakili Partai Aceh.
Figur personal
Implikasi kisruh yang pastinya muncul di internal PA (ditutupi atau tidak) sebagai akibat “kereta kencana politik” ini sesungguhnya telah memberikan preseden yang “tidak baik-baik saja” bagi dinamika politik perempuan Aceh. Ada dua analisis yang mainstream diberikan untuk kasus politis ini. Analisis pertama terkait nepotisme dan kolusi politik. Nepotisme yang menguat dalam realitas ini jelas melanggar prinsip dasar bernegara. Salah satu sebabnya adalah partai politik yang gagal membentuk diri menjadi organisasi modern yang menerapkan asas meritokrasi.
Banyak partai politik yang tergantung pada figur personal yang menjadi patron, membuka jalan bagi suami, istri, anak, menantu, besan, kemenakan dan kolega untuk menguasai jabatan. Khalayak juga termanipulasi untuk lebih percaya kepada tokoh dari pada sistem. Banyak yang apatis menganggap nepotisme politik sebagai konsekuensi demokrasi yang tidak terhindarkan. Tapi ini adalah anggapan yang keliru karena banyak riset menunjukkan daerah yang dikuasai pemimpin nepotis cenderung mundur, tidak akuntabel dan pencapaian buruk. Satu yang pasti akan hilang adalah kepercayaan publik.
Analisis kedua adalah takluknya kekuasaan dalam “perselingkuhan politik dan cinta” yang dianggap sebagai strategi cantik mencapai tujuan politik. Ratu ratu Cleopatra yang hidup abad ke-69 di sebelum Masehi salah satu yang populer dipaparkan dalam sejarah menggunakan intrik cinta dalam kepentingan politiknya di Mesir sejak masa Kerajaan Rumawi. Analisis seperti ini mengkerdilkan kewibawaan pemimpin Aceh dalam rasionalitas publik.
Publik akan beranjak enggan untuk terlibat dan perlahan mulai apatis. Filsuf Slavoj Zizek (2008) menyebutnya ini sebagai gejala kepasifan masyarakat sipil dari politik praktis. Orang menyumbang sesuatu dari dirinya untuk negara, tetapi tak lagi dilandasi oleh kesadaran heroik bahwa semua adalah upaya untuk mengartikulasikan makna dirinya sebagai warga negara. Sebaliknya, semua yang terberi datang dari perasaan enggan karena hanya dengan memberi itulah ia bisa menghindar dari keadaan yang rumit dan menyulitkan, alias mencari aman.
Jika ini dianggap baik karena menambah persentase perwakilan perempuan di parlemen juga tidak tepat. Karena bertambahnya politisi perempuan karena kondisi ini tidak serta merta menunjukkan keberpihakan terhadap kepentingan perempuan. Akan tetapi lebih menjadi preseden yang tidak sehat dalam dinamika politik. Dalam pengalaman tiga tahapan pemilihan sesungguhnya beberapa partai di Aceh telah menunjukan keterbukaan dalam penguatan peran politik perempuan. Bahkan Partai Aceh menjadi salah satu dari partai yang paling banyak menyumbang anleg perempuan di seluruh kabupaten kota di Aceh. Sangat disayangkan jika dinamika kondusif reformasi partai menjadi terkesan tidak sistemik.
Apa yang diharapkan sesungguhnya adalah komitmen Pemerintah Aceh dalam memastikan implementasi kebijakan kuota minimal 30 % keterwakilan perempuan sejak pada pengkaderan dan pencalonan di level partai. Mendorong peningkatan kualitas yang setara bagi politisi laki-laki dan perempuan, serta mengurangi resistensi dan penolakan sosial budaya terhadap kiprah politik perempuan. Konstitusi sebagai landasan kebijakan bagi negara Indonesia menyatakan bahwa hak politik perempuan sama dengan laki-laki.
Negara wajib memenuhi hak politik tersebut yang salah satu caranya adalah dengan memberikan affirmative action (perlakuan khusus sementara) bagi perempuan sebagai upaya untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam bidang politik dan pemerintahan. Langkah afirmasi ini dinyatakan dalam kebijakan di level nasional hingga level provinsi (Qanun Aceh). Pemerintah Aceh khususnya bersama dengan masyarakat termasuk organisasi dan partai politik memiliki tanggung jawab untuk memastikan kebijakan tersebut diimplementasikan sehingga perempuan mendapatkan hak politiknya dengan baik. Tentunya untuk semua perempuan potensial, bukan perorangan.
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Politisi Perempuan dan Dinamika Politik Aceh, https://aceh.tribunnews.com/2025/04/28/politisi-perempuan-dan-dinamika-politik-aceh.