Sejarah Lahirnya Balai Syura


Sejak tahun 1989 sampai 1998, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh Pemerintahan Indonesia melalui Operasi Jaring Merah. Operasi dilakukan dengan sandi Jaring Merah ini dilakukan untuk melumpuhkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melakukan perlawanan dan menuntut kemerdekaan. Dalam durasi waktu tersebut, banyak masyarakat sipil Aceh yang menjadi korban dari konflik bersenjata yang terjadi antara Tentara Republik Indonesia (TNI) dengan GAM. Advokasi menuntut pelaku pelanggaran HAM,  pemenuhan hak korban secara adil dan bermartabat serta mendorong untuk mengakhiri konflik di Aceh yang memberi banyak kerugian serta penderitaan. Dalam rangka merespon upaya penyelesaian konflik dengan damai, maka sekitar 450 orang perempuan Aceh  berkumpul untuk melaksanakan musyawarah yang disebut dengan Duek Pakat Inong Aceh (DPIA), dan menghasilkan kesepakatan perempuan Aceh untuk penyelesaian konflik dengan jalur damai.

20 rekomendasi pun dihasilkan melalui proses rembuk fikir yang serius dari ragam komponen perempuan seluruh Aceh. Untuk menjalankan rekomendasi tersebut, maka disepakatilah pembentukan Balai Syura Ureung Inong Aceh, tanggal 21 April 2000. Lembaga ini berbadan hukum “Perkumpulan” dengan nama Balai Syura Ureung Inong Aceh atau biasa juga disebut dengan Balai Syura.

Provinsi Aceh tercatat pernah mengalami gempabumi yang mengakibatkan korban jiwa
(meninggal dan luka-luka), dan kerugian fisik ekonomi lainnya pada tanggal 26 Desember 2004. Dan gempa bumi ini disusul dengan tsunami yang mengakibatkan 166.541 jiwa meninggal, 1.129 jiwa lukaluka, 6.220 jiwa hilang, 322.821 rumah rusak berat, 96.576 rumah rusak ringan.

Tanggal 26 Desember 2004, Aceh dilanda bencana alam gempa dahsyat yang memicu datangnya Gelombang Tsunami. Untuk dapat membangun kembali Aceh yang hancur akibat konflik panjang dan diperparah dengan Tsunami, dibutuhkan energi yang besar dnegan melibatkan semua pihak. Pristiwa Tsunami dan segala implikasi yang diakibatkanya, menjadi topik utama pada pelaksanaan DPIA II. Salah satu rekomendasi yang dihasilkan adalah konsep pemberdayaan perempuan berbasis komunitas melalui “Balai Inong”. Kearifan local yang mentradisi di Aceh, namun telah terkikis oleh waktu. Hasil rekomendasi ini dirujuk oleh banyak Lembaga local, nasional dan internasional yang merepson dengan upaya penguatan “Balai Inong” di gampong gampong lokasi korban Tsunami.


Selanjutnya sejak tahun 2000 sampai saat ini DPIA dilaksanakan setiap 5 tahun sekali yang menghasilkan rekomendasi yang perlu dikawal dan diupayakan pencapaiannya melalui program kerja. DPIA terakhir atau DPIA V dilakukan pada tanggal tanggal 29-31 Oktober 2024 yang menghasilkan rekomendasi terkait pemeberdayaan dan perlindungan perempuan. Informasi pelaksanaan DPIA I – V serta rekomendasi yang dihasilkan dapat dilihat dalam tabel berikut ini.